Sistem kuota telah lama menjadi instrumen kebijakan yang kontroversial di berbagai negara berkembang, termasuk Bangladesh dan Indonesia. Tujuan awalnya adalah untuk mempromosikan kesetaraan dan memberikan kesempatan yang lebih baik bagi kelompok-kelompok yang kurang beruntung. Namun, implementasi yang tidak tepat seringkali menghasilkan ketidakpuasan publik dan ketegangan sosial. Kasus Bangladesh tahun 2024 menjadi contoh nyata bagaimana kebijakan yang bertujuan baik dapat memicu pergolakan politik jika tidak dikelola dengan bijaksana.
Di Bangladesh, sistem kuota yang diterapkan sejak kemerdekaan negara tersebut pada tahun 1971 mengalokasikan 56% posisi layanan sipil untuk berbagai kelompok, termasuk 30% untuk anak-anak pejuang kemerdekaan, 10% untuk perempuan, 10% untuk daerah terbelakang, dan 5% untuk kelompok etnis minoritas. Meskipun sistem ini dimaksudkan untuk mempromosikan inklusivitas, implementasinya yang tidak efektif dan persepsi ketidakadilan yang meluas di kalangan masyarakat umum memicu protes besar-besaran pada tahun 2018.
Protes "Gerakan Reformasi Kuota" tahun 2018 melibatkan ribuan mahasiswa dan pencari kerja yang menuntut reformasi sistem kuota. Aksi ini berujung pada penghapusan sebagian besar kuota untuk posisi layanan sipil pada Juli 2018. Namun, ketegangan yang terpendam terus berlanjut, mencapai puncaknya pada tahun 2024 ketika gelombang protes baru meletus, menuntut reformasi lebih lanjut dalam sistem pendidikan dan ketenagakerjaan.
Protes massal tahun 2024 ini, yang dipicu oleh tingkat pengangguran yang tinggi di kalangan lulusan universitas (diperkirakan mencapai 47% menurut data BBS, 2023) dan persepsi korupsi dalam proses rekrutmen layanan publik, memaksa pemerintah Bangladesh untuk mengundurkan diri. Pergantian pemerintahan ini menandai titik balik penting dalam sejarah politik Bangladesh dan menyoroti pentingnya mengatasi ketidaksetaraan struktural dengan cara yang lebih efektif dan inklusif.
Situasi di Bangladesh ini memiliki relevansi yang signifikan bagi Indonesia, yang juga menghadapi tantangan dalam mewujudkan keadilan sosial dan ekonomi. Meskipun Indonesia tidak memiliki sistem kuota yang identik, negara ini menghadapi kesenjangan regional yang signifikan dalam pembangunan ekonomi dan sosial. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia menunjukkan bahwa pada tahun 2022, Indeks Gini Indonesia masih berada pada level 0,381, menunjukkan ketimpangan pendapatan yang cukup tinggi.
Selain itu, tingkat pengangguran di Indonesia, terutama di kalangan anak muda, tetap menjadi tantangan serius. Pada Februari 2023, tingkat pengangguran terbuka di Indonesia mencapai 5,32%, dengan pengangguran di kalangan usia 15-24 tahun mencapai 16,62%. Angka-angka ini menunjukkan perlunya strategi pembangunan yang lebih inklusif dan mampu menciptakan lapangan kerja secara masif.
Dalam konteks ini, sektor pariwisata muncul sebagai potensi solusi yang menjanjikan bagi Indonesia. Pariwisata telah terbukti menjadi sektor yang mampu menciptakan lapangan kerja secara cepat dan meluas. Menurut data dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia, pada tahun 2019 (sebelum pandemi COVID-19), sektor pariwisata menyumbang 5,7% terhadap PDB Indonesia dan mempekerjakan sekitar 13 juta orang.
Lebih penting lagi, pariwisata memiliki potensi untuk mendistribusikan manfaat ekonomi secara lebih merata ke berbagai daerah di Indonesia. Studi menunjukkan bahwa pengembangan pariwisata berbasis masyarakat di Indonesia dapat meningkatkan pendapatan rumah tangga hingga 20% dan menciptakan peluang wirausaha baru di tingkat lokal.
Untuk memaksimalkan peran pariwisata dalam mewujudkan keadilan sosial, Indonesia perlu mengadopsi strategi yang komprehensif dan inklusif. Beberapa pendekatan yang dapat dipertimbangkan meliputi:
1. Pengembangan destinasi wisata baru di daerah tertinggal: Studi menunjukkan bahwa pengembangan desa wisata di daerah tertinggal dapat meningkatkan pendapatan masyarakat lokal hingga 35% dalam jangka waktu 3 tahun.
2. Peningkatan akses pendidikan dan pelatihan di bidang pariwisata: Studi menunjukkan bahwa program pelatihan vokasi yang ditargetkan dapat meningkatkan tingkat penyerapan tenaga kerja lokal dalam industri pariwisata hingga 60%.
3. Promosi pariwisata berkelanjutan dan berbasis masyarakat: Model pariwisata ini telah terbukti dapat meningkatkan partisipasi masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan dan distribusi manfaat ekonomi yang lebih adil.
4. Pemanfaatan teknologi digital untuk demokratisasi akses pasar: Studi menunjukkan bahwa platform digital dapat meningkatkan visibilitas dan daya saing usaha kecil dan menengah dalam industri pariwisata hingga 40%.
5. Implementasi kebijakan perlindungan lingkungan dan budaya: Studi menunjukkan bahwa kebijakan yang tepat dapat memastikan 70% dari pendapatan pariwisata tetap berada di komunitas lokal.
Namun, penting untuk dicatat bahwa pengembangan pariwisata bukanlah solusi ajaib dan harus diimplementasikan dengan hati-hati untuk menghindari dampak negatif seperti over-tourism atau eksploitasi budaya lokal. Studi juga menunjukkan bahwa tanpa regulasi yang tepat, dan pengelolaan manajemen yang baik, pengembangan pariwisata dapat mengakibatkan marginalisasi masyarakat lokal dan degradasi lingkungan.
Akhir kata, pelajaran dari kasus Bangladesh menunjukkan pentingnya mengatasi ketidakadilan struktural dengan cara yang efektif dan inklusif. Bagi Indonesia, sektor pariwisata menawarkan peluang signifikan untuk mewujudkan keadilan sosial dengan cara yang lebih fleksibel dan adaptif dibandingkan sistem kuota yang kaku. Namun, keberhasilan strategi ini bergantung pada implementasi kebijakan yang tepat, pengeloaan dengan manajemen yang baik, partisipasi aktif masyarakat lokal, dan komitmen untuk pembangunan berkelanjutan. Dengan pendekatan yang holistik dan berbasis bukti, pariwisata dapat menjadi katalis penting dalam menciptakan masyarakat Indonesia yang lebih adil dan makmur.
Bagikan postingan ini:
Gabung dalam daftar email saya untuk menerima pembaruan dan informasi.
H. Muhammad Rahmad lahir pada 5 Januari 1973 di Minangkabau. Ia berasal dari keluarga ulama dan pemuka adat yang terpandang. Ayahnya, H. Emil Dasril Bin Jamaran, adalah seorang pemuka adat yang bergelar Datuak Putiah Dipucuak di Kenagarian Kubang, Kabupaten 50 Kota. Selain itu, ayahnya juga seorang ulama bergelar Syeikh Mudo Engku Tanjung. Ibunya, Hj. Martina Achmad, adalah putri dari ulama terkemuka H. Achmad Syeikh Mudo Sipingai.
Pendidikan dasarnya ditempuh di SD Negeri No. 7 Talago. Ia kemudian melanjutkan ke MTSN Padang Japang dan MAN Koto Baru Padang Panjang. Prestasi akademiknya membuatnya terpilih sebagai mahasiswa undangan di IAIN Imam Bonjol Padang jurusan Muamalah Jinayah/Perbankan Syariah. Selama kuliah, Rahmad menerima Beasiswa SUPERSEMAR.
Kami sangat senang bisa berkenalan dan bergabung bersama Bapak/Ibu/Sdr semuanya.
Graha Cempaka Mas, Jl. Letjen Suprapto, Jakarta, 10640, Indonesia
Buka sekarang juga | 09.00 – 17.00 |
Muhammad Rahmad
Graha Cempaka Mas, Jalan Letjen Suprapto, Jakarta Pusat 10640
Kami menggunakan cookie untuk menganalisis lalu lintas situs web dan mengoptimalkan pengalaman situs web Anda. Dengan menerima penggunaan cookie, data Anda akan dikumpulkan bersama data pengguna lainnya.